Menguak Tabir Gua-Gua Sulawesi: Kisah Nyata Lahirnya Seni Figuratif Tertua di Dunia

 Menguak Tabir Gua-Gua Sulawesi: Kisah Nyata Lahirnya Seni Figuratif Tertua di Dunia




Gambar Ilustrasi Seni Figuratif Tertua (Gua Sulawesi).

Di jantung pulau Sulawesi, tersembunyi di antara tebing-tebing karst yang menjulang gagah di kawasan Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan, terdapat sebuah galeri seni purba yang tak tertandingi. Gua-gua di wilayah ini, yang dulunya dianggap menyimpan lukisan-lukisan prasejarah yang menarik namun tidak terlalu istimewa, kini telah menggemparkan dunia arkeologi. Melalui serangkaian penelitian dan penanggalan ulang yang inovatif, terungkaplah bahwa gua-gua Sulawesi menyimpan seni figuratif tertua yang pernah ditemukan, mengubah pemahaman kita tentang kapan dan di mana kreativitas artistik manusia pertama kali berkembang. Kisah nyata penemuan dan pengakuan "galeri seni" purba ini adalah perjalanan panjang yang melibatkan kejelian para peneliti, teknologi penanggalan mutakhir, dan pengungkapan warisan budaya yang tak ternilai harganya.


Jejak Awal: Laporan-Laporan Awal dan Kurangnya Perhatian

Kisah keberadaan lukisan-lukisan gua di Maros-Pangkep sebenarnya bukanlah berita baru. Sejak tahun 1950-an, para arkeolog dan bahkan penduduk lokal telah mengetahui keberadaan gambar-gambar berwarna merah dan ungu di dinding-dinding gua. Sosok-sosok hewan, cap-cap tangan, dan pola-pola abstrak telah didokumentasikan di sejumlah gua, termasuk Leang Timpuseng, Leang Pettae, Leang Saripa, dan Leang Bulu Sipong.

Namun, pada masa itu, perhatian utama dalam penelitian seni prasejarah dunia masih terfokus pada gua-gua terkenal di Eropa Barat, seperti Chauvet, Lascaux, dan Altamira, yang menampilkan lukisan-lukisan yang sangat detail dan indah. Seni cadas di Asia Tenggara, termasuk di Sulawesi, seringkali dianggap lebih sederhana dan diperkirakan berasal dari periode yang lebih muda, terutama terkait dengan tradisi Neolitikum (sekitar 4.000 tahun yang lalu). Akibatnya, "galeri seni" Sulawesi ini kurang mendapatkan sorotan internasional yang signifikan.

Titik Balik: Revolusi Penanggalan Uranium-Thorium

Titik balik dalam kisah ini terjadi pada dekade kedua abad ke-21, berkat kemajuan pesat dalam teknologi penanggalan. Sebuah tim peneliti internasional yang dipimpin oleh Prof. Maxime Aubert dari Griffith University, Australia, bekerja sama dengan para arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (ARKENAS) Indonesia, memutuskan untuk menerapkan metode penanggalan uranium-thorium (U-Th) pada lapisan kalsit tipis yang terbentuk di atas dan di bawah pigmen lukisan.

Metode U-Th bekerja dengan mengukur peluruhan radioaktif uranium menjadi thorium dalam mineral kalsit. Karena lapisan kalsit terbentuk secara bertahap seiring waktu oleh air yang merembes melalui batuan kapur, penanggalan lapisan yang melapisi lukisan dapat memberikan perkiraan usia minimal lukisan tersebut. Demikian pula, penanggalan lapisan di bawah lukisan dapat memberikan perkiraan usia maksimal.

Penemuan Menggemparkan: Babi Kutil Tertua dan Adegan Berburu Purba

Hasil penanggalan U-Th pertama yang dipublikasikan pada tahun 2014 di jurnal Nature sungguh menggemparkan. Lukisan seekor babi kutil Sulawesi (spesies endemik pulau ini) di Leang Timpuseng ternyata berusia setidaknya 35.400 tahun. Ini secara signifikan lebih tua dari perkiraan sebelumnya dan menempatkannya sejajar dengan seni cadas tertua yang diketahui di Eropa.

Namun, kejutan yang lebih besar datang pada tahun 2019, juga dipublikasikan di Nature. Penelitian lebih lanjut di Leang Tedongnge mengungkap lukisan babi kutil Sulawesi lainnya yang berusia setidaknya 45.500 tahun. Penemuan ini secara resmi menjadikan lukisan figuratif hewan tertua yang diketahui di dunia, melampaui usia lukisan-lukisan di gua-gua Eropa.

Tidak hanya itu, tim peneliti juga berhasil menanggalkan lukisan di Leang Bulu Sipong 4. Di sana, mereka menemukan panel yang menggambarkan adegan therianthrope (makhluk campuran manusia dan hewan, kemungkinan dengan kepala babi hutan) yang sedang berburu babi kutil dan anoa (kerbau kerdil Sulawesi). Adegan naratif yang kompleks ini diperkirakan berusia setidaknya 43.900 tahun. Ini adalah bukti tertua yang diketahui tentang kemampuan manusia purba untuk menciptakan narasi visual dan pemikiran simbolis yang kompleks.

Selain lukisan hewan dan figur manusia-hewan, gua-gua Sulawesi juga kaya akan cap-cap tangan purba, yang dibuat dengan cara menempelkan tangan ke dinding gua dan menyemprotkan pigmen di sekitarnya. Penanggalan U-Th pada lapisan kalsit yang menutupi cap-cap tangan ini juga menunjukkan usia yang sangat tua, beberapa di antaranya berusia lebih dari 40.000 tahun.

Implikasi dan Perubahan Paradigma:

Penemuan-penemuan di Sulawesi memiliki implikasi yang sangat mendalam bagi pemahaman kita tentang asal-usul seni dan kognisi manusia:

  • Asal-Usul Seni yang Lebih Awal dan Multiregional: Sebelumnya, Eropa sering dianggap sebagai pusat perkembangan seni prasejarah. Penemuan di Sulawesi menunjukkan bahwa inovasi artistik dan pemikiran simbolis yang kompleks muncul secara independen di berbagai belahan dunia pada periode yang sama atau bahkan lebih awal.
  • Kemampuan Kognitif Manusia Modern Awal: Usia lukisan-lukisan ini menegaskan bahwa Homo sapiens yang tiba di Asia Tenggara puluhan ribu tahun yang lalu sudah memiliki kapasitas kognitif yang tinggi, termasuk kemampuan untuk abstraksi, representasi visual, dan mungkin juga kepercayaan spiritual atau naratif.
  • Wawasan tentang Fauna Purba Sulawesi: Lukisan-lukisan tersebut memberikan gambaran visual yang langka tentang fauna endemik Sulawesi pada puluhan ribu tahun yang lalu, termasuk spesies yang mungkin berbeda dari bentuk modernnya.
  • Pentingnya Asia Tenggara dalam Sejarah Manusia: Penemuan ini semakin menyoroti peran penting Asia Tenggara sebagai wilayah kunci dalam perjalanan migrasi dan perkembangan budaya manusia purba.

Tantangan dan Upaya Pelestarian:

Sayangnya, "galeri seni" prasejarah Sulawesi ini menghadapi berbagai tantangan. Pelapukan alami batuan karst, pertumbuhan lumut dan alga, serta aktivitas manusia (vandalisme dan pembangunan infrastruktur) mengancam kelestarian warisan budaya yang tak ternilai harganya ini.

Berbagai upaya pelestarian sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, bekerja sama dengan para ahli dari dalam dan luar negeri. Langkah-langkah yang diambil meliputi:

  • Pendokumentasian dan Pemetaan: Membuat catatan rinci dan peta lokasi lukisan-lukisan gua.
  • Monitoring Kondisi: Memantau secara berkala kondisi fisik lukisan dan gua.
  • Pengendalian Akses: Membatasi akses ke gua-gua yang paling rentan.
  • Sosialisasi dan Edukasi: Meningkatkan kesadaran masyarakat lokal dan publik tentang pentingnya pelestarian warisan budaya ini.
  • Penelitian Lanjutan: Terus melakukan penelitian untuk memahami lebih dalam makna dan konteks seni prasejarah Sulawesi.

Masa Depan "Galeri": Kisah yang Terus Berlanjut

Kisah penemuan dan pengakuan "galeri seni prasejarah tertua di dunia" di Sulawesi masih terus berlanjut. Para arkeolog yakin bahwa masih banyak gua lain di kawasan Maros-Pangkep dan wilayah karst lainnya di Sulawesi yang menyimpan lukisan-lukisan purba yang belum ditemukan. Penelitian di masa depan diharapkan dapat mengungkap lebih banyak lagi tentang kehidupan, kepercayaan, dan kreativitas manusia purba yang menghuni pulau ini puluhan ribu tahun yang lalu.

Gua-gua Sulawesi bukan hanya sekadar situs arkeologi, tetapi juga jendela yang menghubungkan kita dengan pikiran dan imajinasi leluhur manusia yang pertama kali menggoreskan jejak artistik mereka di dinding-dinding batu. Pengakuan atas seni prasejarah Sulawesi sebagai yang tertua di dunia adalah sebuah kebanggaan bagi Indonesia dan sebuah pengingat akan warisan budaya yang tak ternilai harganya yang harus kita jaga dan lestarikan untuk generasi mendatang. "Galeri seni" purba ini adalah bukti bisu namun kuat tentang akar kreativitas manusia yang mendalam dan tersebar luas di seluruh penjuru bumi.



Komentar