Peran Kesultanan Tidore di Papua: Menguak Narasi "Janggi" dan Jejak Perdagangan Berabad-Abad

 Peran Kesultanan Tidore di Papua: Menguak Narasi "Janggi" dan Jejak Perdagangan Berabad-Abad



Gambar Ilustrasi Peran Kesultanan Tidore di Papua.


Di tengah gemerlap sejarah maritim Nusantara, Kesultanan Tidore di Maluku Utara berdiri sebagai salah satu kekuatan maritim paling dominan yang pengaruhnya membentang luas hingga ke tanah Papua. Jauh sebelum era kolonial Barat sepenuhnya mengubah peta wilayah, Tidore telah menjalin hubungan erat dengan Papua, bukan hanya melalui perdagangan rempah, tetapi juga melalui penamaan dan klaim kekuasaan yang membentuk identitas awal Papua dalam catatan sejarah regional. Salah satu warisan paling menarik dari hubungan ini adalah nama yang mereka sematkan untuk Papua: "Janggi".


Kesultanan Tidore: Sang Penguasa Rempah di Timur

Sejak abad ke-15, Kesultanan Tidore, bersama tetangganya Ternate, menguasai perdagangan cengkeh dan pala yang sangat berharga di pasar dunia. Kekayaan rempah ini mendorong Tidore untuk memperluas jangkauan pengaruhnya ke wilayah-wilayah di sekitarnya guna mengamankan pasokan dan jalur perdagangan. Papua, dengan kekayaan hasil hutan dan lautnya, menjadi target alami dari ekspansi ekonomi dan politik Tidore.

Pengaruh Tidore di Papua bersifat multi-dimensi:

  1. Ekonomi dan Perdagangan: Ini adalah pilar utama hubungan Tidore dengan Papua. Tidore mencari komoditas seperti hasil hutan (kayu gaharu, damar), hasil laut (teripang, mutiara, sirip hiu), bulu burung Cenderawasih yang eksotis, dan budak. Komoditas ini kemudian dibawa ke Tidore untuk diperdagangkan lebih lanjut dengan pedagang dari berbagai belahan dunia seperti Tiongkok, Arab, dan Eropa. Jaringan perdagangan ini menciptakan rute-rute maritim yang sibuk dan mempertemukan berbagai suku di Papua dengan dunia luar.
  2. Politik dan Klaim Kedaulatan: Tidore mengklaim sebagian wilayah pesisir Papua sebagai wilayah taklukannya, terutama di Raja Ampat, Semenanjung Bomberai, dan beberapa bagian pesisir barat. Klaim ini seringkali diwujudkan dalam bentuk pemberian gelar kepada pemimpin lokal di Papua (misalnya, "Raja" atau "Kapitan") dan kewajiban membayar upeti kepada Sultan Tidore. Meskipun klaim ini bersifat de jure dan tidak selalu berarti kontrol penuh atas seluruh wilayah pedalaman yang sulit dijangkau, ia memberikan legitimasi bagi Tidore dalam interaksinya dengan kekuatan lain, termasuk VOC nantinya.
  3. Sosial dan Budaya: Hubungan ini juga membawa pertukaran budaya. Bahasa Tidore, adat istiadat, dan bahkan ajaran Islam perlahan menyebar di beberapa wilayah pesisir Papua yang berinteraksi intensif dengan Tidore. Jejak-jejak ini masih dapat ditemukan dalam tradisi lisan, nama-nama tempat, dan silsilah keluarga di beberapa komunitas pesisir Papua Barat.

"Janggi": Nama Pemberian Tidore untuk Papua

Salah satu aspek paling menarik dari pengaruh Tidore adalah penamaan Papua sebagai "Janggi". Nama ini muncul dalam berbagai catatan sejarah dan peta-peta lama yang dibuat oleh pedagang dan penjelajah dari kawasan Timur Tengah hingga Eropa, yang mendapatkan informasi dari Tidore atau Ternate.

Asal-usul nama "Janggi" masih menjadi perdebatan di kalangan ahli, namun beberapa teori yang paling umum adalah:

  • Asosiasi dengan Zanj/Zenj (Afrika): Beberapa sejarawan berpendapat bahwa "Janggi" mungkin merupakan adaptasi dari kata "Zanj" atau "Zenj", yang dalam bahasa Arab merujuk pada orang-orang berkulit hitam dari Afrika Timur. Nama ini kemungkinan digunakan oleh pedagang Arab yang berinteraksi dengan Tidore, kemudian diadopsi oleh Tidore untuk menggambarkan penduduk asli Papua yang memiliki ciri fisik serupa (kulit gelap dan rambut keriting) dengan orang-orang Zanj yang mereka ketahui. Ini mencerminkan perspektif deskriptif berdasarkan ciri fisik yang menonjol.
  • Merujuk pada "Orang Asing" atau "Penduduk di Ujung Dunia": Interpretasi lain mengemukakan bahwa "Janggi" bisa berarti "orang asing" atau "tanah di ujung dunia" dari perspektif Tidore. Papua, sebagai wilayah terjauh di timur dari pusat Tidore, memang dianggap sebagai batas dunia yang dikenal.
  • Kaitannya dengan Perdagangan Budak: Sejarah mencatat bahwa Tidore juga terlibat dalam perdagangan budak dari Papua. Nama "Janggi" mungkin juga memiliki konotasi terkait dengan asal-usul budak-budak ini, meskipun ini adalah aspek yang lebih gelap dari hubungan tersebut.

Penggunaan nama "Janggi" oleh Tidore adalah bukti konkret dari pengakuan mereka terhadap Papua sebagai entitas geografis dan sosial yang berbeda, yang berada dalam lingkup pengaruh ekonomi dan politik mereka. Nama ini bertahan selama berabad-abad dalam catatan dan peta regional sebelum akhirnya digantikan oleh nama "Papua" yang lebih dikenal secara internasional.


Warisan yang Terus Hidup

Meskipun kekuasaan Kesultanan Tidore telah lama memudar seiring kedatangan bangsa Eropa, warisan hubungan mereka dengan Papua tetap lestari. Penamaan "Janggi" adalah sebuah kapsul waktu linguistik yang mengingatkan kita pada jaringan interaksi kuno yang kompleks di Nusantara. Ia menunjukkan bahwa Papua bukanlah pulau yang terisolasi, melainkan telah menjadi bagian integral dari sejarah maritim dan perdagangan regional selama berabad-abad, jauh sebelum narasi kolonialisme Barat mendominasi. Memahami peran Tidore dan nama "Janggi" adalah langkah penting untuk merangkai kembali mozaik sejarah Papua yang kaya dan seringkali terlupakan.



Komentar