Dukungan "Tak Terlihat" Uni Soviet di Balik Layar Kemerdekaan Indonesia

Dukungan "Tak Terlihat" Uni Soviet di Balik Layar Kemerdekaan Indonesia




Gambar Ilustrasi Indonesia dan Uni Soviet.


Pada 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang, sebuah deklarasi berani yang mengoyak belenggu kolonialisme. Namun, euforia kemerdekaan dengan cepat dihadapkan pada kenyataan pahit: Belanda, dengan dukungan sekutu, berupaya keras untuk merebut kembali kendali atas nusantara. Di tengah gejolak politik dan militer yang mencekam, munculah sebuah dukungan krusial dari negara yang kala itu terkesan jauh dan ideologinya berbeda, yakni Uni Soviet. Peran Uni Soviet di panggung internasional, khususnya di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seringkali luput dari perhatian publik, padahal kontribusinya sangat signifikan dalam mengamankan pengakuan kedaulatan Indonesia.

Momentum Penting di PBB: Suara Pembela Kemerdekaan

Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer Pertama (1947) dan Kedua (1948) dengan dalih "aksi polisionil" untuk mengembalikan ketertiban, Indonesia berada dalam posisi yang sangat rentan. Dunia internasional, khususnya negara-negara Barat, cenderung berhati-hati dalam menanggapi klaim kemerdekaan Indonesia, seringkali karena ikatan ekonomi dan politik dengan Belanda. Di sinilah Uni Soviet tampil sebagai salah satu pembela paling gigih bagi Republik Indonesia.

Delegasi Uni Soviet di PBB secara konsisten dan vokal mengangkat masalah agresi militer Belanda. Mereka tidak segan-segan mengecam tindakan militer Belanda sebagai pelanggaran kedaulatan dan menuntut PBB untuk segera menghentikannya. Berkali-kali, Uni Soviet mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan tegas, bahkan mengusulkan resolusi-resolusi yang jauh lebih kuat dibandingkan negara lain pada saat itu. Mereka secara terang-terangan mendukung hak Indonesia untuk menentukan nasib sendiri dan mendesak komunitas internasional untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.

Dukungan Uni Soviet ini sangat penting karena memberikan tekanan diplomatik yang luar biasa terhadap Belanda dan sekutunya. Suara Uni Soviet di PBB, sebagai salah satu kekuatan besar dunia dan anggota tetap Dewan Keamanan, tidak bisa diabaikan. Ini membantu menggeser opini publik internasional dan mendorong PBB untuk lebih serius menangani konflik Indonesia-Belanda, yang pada akhirnya berujung pada Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan Indonesia.

Niat Awal Jalinan Diplomatik: Respon Cepat Soekarno

Jauh sebelum dukungan vokal Uni Soviet di PBB, bibit-bibit hubungan bilateral sudah mulai tumbuh. Pada rapat 1 Mei 1946 di Yogyakarta, Presiden Soekarno sendiri secara eksplisit telah menyatakan kesiapan Indonesia untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Uni Soviet. Ia bahkan menyampaikan niat untuk segera mendirikan perwakilan diplomatik di sana.

Pernyataan Soekarno ini menunjukkan visi jauh ke depan dari pemimpin Indonesia untuk tidak hanya bergantung pada dukungan Barat, tetapi juga membuka diri terhadap kekuatan lain yang memiliki kepentingan strategis berbeda. Bagi Indonesia yang baru lahir dan sedang berjuang untuk eksistensinya, mendapatkan pengakuan dari negara adidaya seperti Uni Soviet adalah sebuah legitimasi penting di mata dunia. Langkah ini juga menunjukkan bahwa Indonesia berusaha menerapkan politik luar negeri bebas aktif sejak awal, dengan tidak memihak pada satu blok kekuatan saja.

Hambatan Awal: Gejolak Domestik dan Agresi Militer

Meskipun niat baik untuk menjalin hubungan diplomatik secara penuh sudah ada, implementasinya tidak berjalan mulus. Ada beberapa hambatan signifikan yang menunda realisasi pembukaan perwakilan diplomatik:

  • Peristiwa Madiun (1948): Pemberontakan yang dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun menciptakan situasi politik dalam negeri yang sangat tidak stabil. Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Soekarno dan Hatta, harus memprioritaskan penumpasan pemberontakan ini. Peristiwa ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan internasional, dan tentu saja, memperlambat proses penjajakan hubungan dengan Uni Soviet.
  • Agresi Militer Belanda: Agresi Belanda yang berkelanjutan memaksa pemerintah Indonesia untuk fokus pada perjuangan fisik dan diplomasi darurat di PBB. Sumber daya dan perhatian politik tercurah untuk menghadapi ancaman eksistensial ini, menunda upaya formalisasi hubungan diplomatik dengan negara-negara lain, termasuk Uni Soviet.

Namun, meskipun ada hambatan-hambatan ini, semangat untuk menjalin hubungan tetap membara. Kontak-kontak tidak resmi dan dukungan Uni Soviet di PBB terus berlanjut. Ini menjadi fondasi kuat yang kemudian memungkinkan terjalinnya hubungan diplomatik yang erat antara Indonesia dan Uni Soviet pada era 1950-an dan awal 1960-an, sebuah periode yang juga sarat dengan kisah-kisah tak terduga dalam sejarah kedua negara.


 

Komentar