Belanda dan Papua: Dari Penemuan Sporadis hingga Pengelolaan Serius di Abad ke-20
![]() |
| Gambar Ilustrasi (Belanda dan Papua). |
Kontak Awal dan Ketertarikan yang Minim (Abad ke-17 hingga ke-19)
Kedatangan Belanda di perairan Papua dapat dilacak sejak 1606, ketika kapal-kapal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) di bawah pimpinan Willem Janszoon mencapai pesisir selatan Papua. Ia adalah orang Eropa pertama yang memetakan sebagian pantai Queensland, Australia, namun sebelumnya ia juga menyentuh bagian selatan Papua. Setahun kemudian, Frederick de Houtman juga mencapai pantai barat laut Papua.
Namun, kontak-kontak awal ini, serta ekspedisi-ekspedisi sporadis berikutnya sepanjang abad ke-17, ke-18, dan ke-19, tidak menghasilkan klaim atau pengelolaan wilayah yang serius dari pihak Belanda. Ada beberapa alasan kuat untuk ini:
- Fokus pada Rempah-rempah dan Jawa: Kepentingan utama VOC adalah mengamankan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku dan mengkonsolidasikan kekuasaan di Jawa. Sumber daya, tenaga, dan perhatian VOC, dan kemudian pemerintah Hindia Belanda, tercurah penuh pada wilayah-wilayah yang sudah terbukti kaya dan strategis secara ekonomi.
- Medan yang Sulit dan Iklim Ekstrem: Papua dikenal dengan geografi yang sangat menantang: hutan hujan lebat, pegunungan terjal, rawa-rawa, dan iklim tropis yang rentan penyakit. Ini menyulitkan eksplorasi, pembangunan infrastruktur, dan pembentukan permukiman permanen.
- Keterbatasan Sumber Daya: Belanda tidak memiliki sumber daya manusia dan finansial yang tak terbatas untuk mengelola setiap jengkal wilayah yang mungkin mereka klaim di Nusantara.
- Perlawanan Penduduk Asli: Meskipun interaksi terbatas, berbagai suku di Papua memiliki sistem sosial dan pertahanan yang kuat. Eksplorasi atau upaya penetrasi seringkali menghadapi perlawanan.
- Persepsi "Pulau Kosong" atau "Tidak Bernilai Ekonomis": Pada masa itu, belum ada laporan signifikan tentang potensi kekayaan alam Papua yang bisa dieksploitasi secara besar-besaran (seperti minyak, gas, atau mineral strategis lainnya yang baru ditemukan kemudian), sehingga tidak ada dorongan ekonomi yang kuat untuk menguasainya.
Klaim Formal dan Batasan Wilayah (Abad ke-19)
Meskipun minim pengelolaan, Belanda mulai membuat klaim formal atas Papua bagian barat pada abad ke-19, terutama untuk mengantisipasi klaim dari kekuatan Eropa lainnya seperti Inggris dan Jerman.
- 1828: Belanda secara resmi mengklaim pantai selatan Papua bagian barat dari 141° BT hingga Tanjung Valsch (Vlakke Hoek) dan bagian barat laut semenanjung Onin hingga 130° BT. Mereka juga membangun pos perdagangan Fort Du Bus di Lobo (dekat Kaimana) sebagai penanda kedaulatan, meskipun pos ini ditinggalkan setelah beberapa tahun karena kesulitan logistik dan penyakit.
- 1848: Klaim diperluas hingga 141° BT, yang kemudian menjadi batas timur antara wilayah Belanda dan wilayah yang diklaim Inggris (Papua Nugini) dan Jerman (bekas Jerman Nugini).
Namun, klaim-klaim ini sebagian besar bersifat "klaim di atas kertas" tanpa pengelolaan administrasi yang efektif atau kehadiran pemerintah yang berarti. Wilayah ini masih dianggap sebagai daerah terpencil dan tidak penting secara ekonomi.
Titik Balik: Awal Abad ke-20 dan Pergeseran Prioritas
Pergeseran signifikan dalam kebijakan Belanda terhadap Papua terjadi pada awal abad ke-20. Ada beberapa faktor pendorong:
- Konsolidasi Kekuasaan Kolonial: Setelah Perang Aceh berakhir dan kekuasaan Belanda di seluruh Nusantara semakin terkonsolidasi, perhatian mulai beralih ke wilayah-wilayah terpencil yang belum terkelola secara administratif.
- Penemuan Potensi Sumber Daya Alam: Laporan-laporan awal tentang potensi sumber daya alam (misalnya minyak) mulai muncul, meskipun eksplorasi besar-besaran belum dilakukan. Ini memberikan dorongan ekonomi baru.
- Persaingan Geopolitik: Ancaman klaim dari negara-negara lain, terutama Australia yang mulai melihat pentingnya Papua bagi pertahanan, mendorong Belanda untuk lebih serius menegaskan kedaulatannya.
- Kebijakan Etis (Ethische Politiek): Kebijakan etis yang mulai diberlakukan pada awal 1900-an mendorong pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan kesejahteraan penduduk pribumi dan pembangunan daerah terpencil, termasuk pendidikan dan kesehatan. Meskipun seringkali bermotif paternalistik, kebijakan ini mendorong peningkatan kehadiran administrasi.
- Papua sebagai Tempat Hukuman/Pembuangan: Salah satu alasan yang secara eksplisit disebutkan adalah penggunaan Papua sebagai tempat pembuangan atau hukuman. Wilayah yang terpencil, sulit dijangkau, dan belum padat penduduknya seperti Boven Digoel di Papua bagian selatan, menjadi lokasi ideal untuk mendirikan kamp-kamp tahanan politik bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia. Kamp Boven Digoel, yang didirikan pada tahun 1927, adalah contoh paling terkenal dari kebijakan ini. Kehadiran kamp ini secara tidak langsung "memaksa" pemerintah Belanda untuk membangun infrastruktur pendukung dan kehadiran administratif yang lebih permanen di wilayah tersebut.
Dengan adanya faktor-faktor ini, Belanda mulai mendirikan pos-pos administrasi yang lebih permanen, melakukan pemetaan lebih lanjut, dan memulai upaya-upaya pengelolaan yang lebih serius di Papua. Dari sekadar "garis di peta" atau daerah yang sesekali disinggahi, Papua perlahan mulai masuk ke dalam sistem administrasi kolonial Belanda yang lebih terstruktur. Namun, bahkan hingga akhir masa kolonial, pengembangan Papua tetap tertinggal jauh dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Hindia Belanda.

Komentar
Posting Komentar